Sabtu, 25 April 2015
Assisumpungeng
Assisumpungeng
merupakan istilah yang berasal dari kata kerja Sumpung (Bahasa bugis) yang berarti sambung / menyambung. Penambahan
kata Assi diawal kata Sumpung dan akhiran
kata eng pada kata Assisumpungeng
meruapakan kata sifat yang bermakna suasana keakraban yang tumbuh dari
aktivitas Silaturrahiim. Didalam budaya masyarakat
bugis di kenal dengan istilah Sumpung Lolo yang terdiri dari dua suku kata
yaitu kata sumpung berarti Sambung dan Lolo yang berarti tali pusar / tali Rahim.
Istilah Sumpung Lolo yang bermakna Silaturrahiim oleh masyarakat bugis dipakai
untuk menggambarkan ikatan persaudaraan antar sesama manusia baik saudara
kandung maupun diluar dari saudara kandung. Budaya silaturrahiim masyarakat
bugis dapat kita rasakan ketika kita melakukan kunjungan ke kerabat kita di
pemukiman suku bugis.
Istilah Assisumpungeng
kini melekat pada suatu kampung yang kini bernama Umpungeng. Dengan lokasi yang
strategis di tengah alam yang luas serta disisi kanan terdapat sungai. Untuk
lebih menyelami maksud kata Assisumpungeng dan memahami makna silaturrahiim,
berikut kami suguhkan satu artikel khusus tentang Silaturrahiim.
MEMAKNAI ARTI SILATURRAHIM
Alhamdulillâhi wahdah,
wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.
· Makna
silaturrahim
Silaturrahmi tersusun
dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahimyang
berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat.
Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Dari keterangan
ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah syar’i, penggunaan
kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan atau kunjungan dengan
orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat, sebenarnya kurang pas.
· Motivasi untuk
bersilaturrahim
Silaturrahim bukanlah
murni adat istiadat, namun ia merupakan bagian dari syariat. Amat bervariasi
cara agama kita dalam memotivasi umatnya untuk memperhatikan silaturrahim.
Terkadang dengan bentuk perintah secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau
juga dengan cara ancaman bagi mereka yang tidak menjalankannya.
Allah ta’ala memerintahkan
berbuat baik pada kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ
اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah
Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat
baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan
hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan
bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada
Allah dan hari akhir,
“مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”
“Barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau jugamenjanjikan
bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur
yang panjang,
“مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa
menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia
bersilaturrahim”. HR.
Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman
Allah ta’ala,
“وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ
يَسْتَقْدِمُونَ”.
Artinya: “Setiap
umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan
atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.
Ada beberapa
alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas
di atas. Antara lain:
Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari
keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahmi menjadikan seseorang
meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat; sehingga namanya
tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan ia belum
mati.
Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah
umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di
atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penganggung jawab umur.
Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu
Allah (lauh al-mahfuzh).
Misalnya: malaikat
mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim
dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah
fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu
Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang
ada di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.
Keterangan tersebut
diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“يَمْحُو
اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.
Artinya: “Allah
menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul
kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.
Takdir yang masih
berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada dalam ‘catatan’
malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di
sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.
Kembali kepada
pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak menjaga tali persaudaraan dia
terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara kerugian duniawi
yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus dari
kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ
وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa
menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang
siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku
dengannya”. HR. Bukhari dari Abu
Hurairah.
Ganjaran di akhirat
bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk
masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin
Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.
“Tidak akan masuk
surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.
· Hakikat
silaturrahim
Ganjaran menarik yang
dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat
menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga
mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin
yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya
masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah
mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari
kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ
الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ
وَصَلَهَا”.
“Penyambung
silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan
kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang
yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung
mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang
menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia
bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan
kerabat dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut
di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan;
sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita
tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada
orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang
yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah
ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ:
“يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ
إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”.
فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا
يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang
yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai
Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus
(hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka
menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan
kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan
sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan
senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR.
Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn
Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
§ Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka
yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
§ Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang
bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat
baik manakala ia dibaiki.
§ Pemutus silaturrahim.
· Konsekwensi
silaturrahim
Silaturrahim bukan
hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah kerabat atau mengadakan
arisan keluarga, namun ia memiliki makna yang lebih dalam dari itu.
Silaturrahim memiliki berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan,
di antaranya:
1. Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat
mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’alamemerintahkan
Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah
beliau,
“وَأَنذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS.
Asy-Syu’ara’: 214.
Dengan bahasa yang
santun, ingatkanlah kerabat kita yang masih percaya dengan jimat, yang masih
gemar pergi ke dukun, yang shalatnya masih bolong-bolong, yang belum berpuasa
Ramadhan, yang masih enggan mengeluarkan zakat dan yang semisal. Berbagai
nasehat tadi bisa disampaikan kepada yang bersangkutan secara langsung, atau
bisa pula ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di awal
rentetan acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.
Persaudaraan yang
dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan ‘abadi’ hingga di
alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang berkonsekwensi mengorbankan
prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan semu, yang justru di hari akhir
nanti akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman
Allah ta’ala,
“الْأَخِلَّاء
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.
Artinya: “Teman-teman
karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali
mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67.
2. Saling
bantu-membantu
Orang yang membantu
kerabat akan mendapat pahala dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum
miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala)
dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir.
At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.
Berbuat baik terhadap
kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi
mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi
dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai
kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan
kita serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan
perhatian ekstra kita pada mereka.
3. Saling memaafkan
kesalahan
Dalam kehidupan
interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan riak-riak kecil antar anggota
keluarga merupakan suatu hal yang amat wajar. Sebab manusia merupakan sosok
yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi
tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap
dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga
besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan
kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat
mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah
pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan
orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Namun ada suatu
praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan. Yaitu:
mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika
minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau
minimal kurang afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal.
Padahal kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak
menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di’rapel’ di
hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu
dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat!
Keyakinan tersebut
juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang serasa kurang jika tidak
dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”. Padahal dahulu para sahabat Nabishallallahu’alaihiwasallam manakala
saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah
minna wa minkum” . Dan kalimat ini jelas lebih sempurna; sebab tidak
semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah
menerima amalan orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi
selamat.
· Ranjau-ranjau
‘silaturrahim’
Sebelum munculnya
agama Islam, dalam adat istiadat komunitas Arab telah dikenal persaudaraan
antar kerabat, dan itu juga mereka anggap sebagai salah satu akhlak mulia.
Kemudian Islam datang dengan membawa ajaran ‘serupa’ yang diistilahkan dengan
silaturrahmi, namun dengan format dan aturan yang lebih sempurna. Sisi-sisi
kekurangan dalam ‘silaturrahmi’ versi adat jahiliyah dibenahi, sehingga karakter
mulia tersebut semakin terlihat indah dan menarik.
Kita hidup di tanah
air yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Dalam budaya kita pun menjalin
hubungan persaudaraan dikenal sebagai perilaku mulia. Hanya saja praktek
sebagian kalangan terkadang menodai ‘kesucian’ silaturrahmi. Sisi-sisi negatif
dalam ‘silaturrahmi’ mereka inilah yang penulis istilahkan dengan ‘ranjau
silaturrahim’.
Di antara perilaku
yang seharusnya dihindari dalam menjalin silaturrahim:
1. Fanatisme
Salah satu musibah
besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah: perpecahan di antara mereka.
Di antara faktor terbesar yang menimbulkan perpecahan adalah adanya
‘rumah-rumah’ lain di dalam ‘rumah besar’ Islam. Apalagi manakala hal itu
diiringi dengan fanatisme buta sesama anggota rumah-rumah kecil tersebut.
Sehingga seakan kebenaran hanyalah ada dalam diri mereka. Padahal sebagai umat
Islam kita tidak boleh bersikap fanatik kecuali kepada kebenaran; yakni
al-Qur’an dan Sunnah Rasulshallalahu’alaihiwasallam dengan
pemahaman para sahabat Nabishallallahu’alaihiwasallam.
Paguyuban keluarga
juga berpeluang menimbulkan fanatisme tercela, jika tidak senantiasa disuntik
arahan agama dan dipoles sentuhan islami.
2. Lunturnya sikap
adil.
Perasaan pakewuh terhadap
saudara terkadang menjerumuskan seseorang untuk segan mengucapkan yang haq.
Apalagi manakala hal itu ‘merugikan’ saudara sendiri. Contoh nyatanya manakala
kita dihadapkan untuk menjadi saksi dalam suatu kasus, yang pelakunya adalah
saudara kita sendiri. Manakala kita menyampaikan fakta sebenarnya, hal itu akan
mengakibatkan dia mendekam di hotel prodeo dan kerabat lainnya menjauhi kita,
namun insyaAllah buahnya kita akan disayang Allah. Sebaliknya
jika kita menyembunyikan kebenaran, mungkin saudara kita akan selamat, kita
akan disanjung kaum kerabat, namun akibatnya dimurkai Allah.
Dalam kondisi
simalakama inilah keimanan kita diuji; apakah akan mementingkan keridhaan Allah
atau pujian manusia?
Panutan kita semua;
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan sikap adil
dalam sabdanya,
“وَايْمُ
اللَّهِ! لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا”
“Demi
Allah, andaikan putriku Fatimah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong
tangannya. HR. Bukhari
(hal. 716 no. 3475) dan Muslim (XI/189 no. 4389) dengan redaksi Bukhari.
3. Berjabat tangan
dengan non mahram
Bersalaman merupakan
salah satu ibadah mulia yang menjanjikan ganjaran menggiurkan. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ
أَنْ يَفْتَرِقَا”.
“Tidaklah ada dua
orang muslim yang bertemu lalu saling bersalaman, melainkan dosa keduanya akan
diampuni sebelum mereka berdua berpisah”. HR. Abu Dawud dari al-Bara’ bin ‘Azib dan
dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Namun manakala yang
diajak bersalaman adalah orang-orang yang sebenarnya tidak boleh kita salami,
maka saat itu justru dosalah yang menanti kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لأَنْ
يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”.
“Lebih baik kepala
kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada ia memegang wanita yang tidak
halal baginya”. HR. Thabarany (XX/212
no. 487) dari Ma’qil bin Yasar dan dinilai kuat oleh al-Mundziry dan al-Albany
.
Walaupun dengan alasan
menjalin hubungan silaturrahim, praktek di atas tetap tidak bisa dibenarkan.
Sebab Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam merupakan sosok
yang paling piawai dalam menjalin hubungan silaturrahmi, pun demikian beliau
tetap menghindari berjabat tangan dengan wanita non mahram. Bahkan dalam momen
sesakral bai’at saja, beliau tidak menjabat tangan kaum mukminat. Sebagaimana
diceritakan istri beliau; Aisyahradhiyallahu’anha,
“وَلَا
وَاللَّهِ، مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ, مَا
يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكِ”.
“Tidak demi Allah,
tangan beliau sekalipun tidak pernah menyentuh tangan wanita saat baiat. Beliau
hanya membaiat mereka dengan berkata, “Aku telah membaiatmu untuk hal itu”. HR. Bukhari.
Sebagian orang mengira
bahwa setiap yang memiliki hubungan kerabat dengannya dikategorikan mahram
kita. Hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap mahram kita. Di antaranya:
golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
“حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ…”.
Artinya: “Diharamkan
atas kalian (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ayahmu
yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya). (Dan
diharamkan bagimu pula) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”. QS.
An-Nisa: 23.
Tentu tidak mudah
menerapkan hal tersebut, apalagi di komunitas yang masih belum begitu memahami
aturan syariat ini. Di sinilah kita menyadari betapa besarnya tugas dan kewajiban
para ulama, da’i, ustadz, mubaligh atau siapa saja yang telah mengetahui hukum
ini, untuk menerangkan hal itu pada masyarakat, dan juga mempraktekkannya.
Bukan justru larut dalam arus kebiasaan yang keliru, atau mempertahankan
‘status quo’ yang tidak benar.
Namun demikian, mereka
yang telah mengetahui hukum ini dan telah bertekad untuk mempraktekkannya,
tatkala menghindari jabat tangan dengan non mahram, hendaklah ia melakukan hal
tersebut dengan santun dan lemah lembut, serta diiringi dengan muka yang manis.
Dengan harapan hal itu bisa sedikit mencairkan suasana yang barangkali akan
terasa kaku. Dia bisa mengungkapkan rasa hormatnya kepada yang mengajaknya
bersalaman, tanpa harus menyentuh tangan yang di hadapannya. Dengan berjalannya
waktu, insyaAllah hubungan yang awalnya akan terasa renggang
akan erat kembali. Dan tentunya erat dilandasi syariat…
Semoga tulisan ringkas
ini bermanfaat bagi kita untuk lebih memaknai silaturrahim, amien ya
rabbal ‘alamien.
Wallahu a’lam, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Oleh: Abdullah Zaen,
Lc, MA
@ Pesantren
“Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 4 Syawal 1431 / 13 September 2010